Akhir-akhir ini banyak orang memperbincangkan dan
mendiskusikan tentang pengakuan penyelesaian Konstruksi Dalam Pengerjaan (KDP).
Apa sih yang menarik? Bukankah sudah ada Pernyataan SAP Nomor 8 tentang
Akuntansi KDP? Bukankah dalam Bab VII Buletin Teknis (Bultek) SAP Nomor 9
tentang Akuntansi Aset Tetap juga telah dijelaskan hal yang sama?
Usut punya usut ternyata ada sedikit ‘masalah’ dalam
Bab VII Bultek SAP Nomor 9 tersebut. Masalah itu terkait dengan kapan
sebenarnya suatu KDP (khususnya yang diperoleh melalui kontrak konstruksi)
diakui sebagai Aset Tetap. Rupanya penjelasan mengenai Penyelesaian KDP pada
halaman 31-32 Bultek SAP Nomor 9 tersebut berbeda dengan uraian pada huruf E Contoh
Kasus nomor 4 pada halaman 36-38, dimana di sana diketengahkan contoh kasus
pembangunan gedung dengan kontrak konstruksi disertai jurnal transaksi kapan
suatu KDP dipindahkan ke Aset Tetap Definitifnya.
Lebih jelasnya begini…..
Dengan merujuk paragraf 15 PSAP Nomor 8, Bultek SAP
Nomor 9 di halaman 31 menyatakan bahwa suatu KDP akan dipindahkan ke pos aset
tetap yang bersangkutan jika konstruksi secara substansi telah selesai
dikerjakan dan konstruksi tersebut telah dapat memberikan manfaat/jasa sesuai
tujuan perolehan. Selanjutnya dinyatakan
bahwa dokumen sumber untuk pengakuan penyelesaian suatu KDP adalah Berita Acara
Penyelesaian Pekerjaan (BAPP). Dengan demikian, apabila suatu KDP telah
diterbitkan BAPP, berarti pembangunan tersebut sudah selesai. Lebih lanjut,
pencatatan suatu transaksi perlu mengikuti sistem akuntansi yang ditetapkan
dengan pohon putusan (decision tree) sebagai berikut: 1. atas dasar bukti
transaksi yang obyektif (objective evidences); dan 2. dalam hal tidak
dimungkinkan adanya bukti transaksi yang obyektif maka digunakan prinsip
substansi mengungguli bentuk formal (substance over form). Dalam kasus-kasus
spesifik dapat terjadi
variasi dalam penyelesaian KDP. Oleh karena itu buletin
teknis tersebut memberikan pedoman sebagai berikut:
1. Apabila
aset telah selesai
dibangun, BAPP sudah
diperoleh, dan aset
tetap tersebut sudah
dimanfaatkan oleh SKPD/Satker, maka aset tersebut dicatat sebagai Aset
Tetap Definitifnya.
2. Apabila
aset tetap telah
selesai dibangun, BAPP sudah diperoleh, namun aset tetap
tersebut belum dimanfaatkan oleh SKPD/Satker, maka aset tersebut dicatat
sebagai Aset Tetap Definitifnya.
3. Apabila
aset telah selesai
dibangun yang didukung dengan
bukti yang sah (walaupun BAPP belum diperoleh) namun
aset tetap tersebut sudah dimanfaatkan oleh SKPD/Satker, maka aset tersebut masih dicatat sebagai KDP dan
diungkapkan di dalam CaLK.
4. Apabila
sebagian dari aset tetap yang dibangun telah selesai, dan telah
digunakan/dimanfaatkan, maka bagian yang digunakan/dimanfaatkan masih
diakui sebagai KDP (Dalam kasus ini, BAPP tidak dapat diberlakukan untuk
sebagian saja dari pekerjaan yang telah selesai dibangun).
5. Apabila Berita Acara Serah Terima sudah ada,
namun fisik pekerjaan belum selesai,
akan diakui sebagai KDP.
Namun kalau Anda mencermati contoh jurnal transaksi
yang mendasarkan pada contoh kasus transaksi pembangunan gedung dengan kontrak
konstruksi pada halaman 36-38, maka akan ditemui di sana bahwa pengakuan
penyelesaian suatu KDP– untuk itu harus dipindahkan ke pos aset tetap yang
bersangkutan–adalah pada saat retensi 5% dibayarkan berdasarkan Berita Acara
Serah Terima Kedua.
Sekarang menjadi jelas kan perbedaan yang terjadi?
Aneh bukan? Bagaimana nggak aneh, dalam Bultek yang sama terdapat dua
pengaturan, meskipun yang terakhir hanya contoh kasus. Konon katanya auditor
lebih merujuk kepada contoh jurnal dalam kasus halaman 36-38 Bultek Nomor 9
tersebut. Sementara itu pemerintah daerah lebih banyak merujuk pada pengaturan
sesuai SAP dan Bultek Nomor 9 halaman 31-32. Namun bagaimana akhirnya? Ya dapat
ditebak, pemerintah daerah harus melakukan koreksi dalam laporan keuangannya
seperti kemauan auditor.
Warkop Mania…..Sepertinya jadi menarik untuk dikaji
lebih jauh ya?
Kita tidak akan membahas mengapa sampai ada dua
pengaturan yang berbeda dalam Bultek Nomor 9. Apakah memang ada unsur kelalaian
dalam pembuatan Bultek Nomor 9 tersebut?
Nah, perbedaan kedua pengaturan dalam Bultek Nomor 9
mengenai kapan pengakuan penyelesaian suatu KDP sebenarnya terletak pada
dokumen sumber yang digunakan. Bultek Nomor 9 halaman 31-32 mendasarkan
pengakuan penyelesaian KDP pada dokumen Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan
(BAPP), sedangkan Bultek Nomor 9 halaman 36-38 mendasarkan pada dokumen Berita
Acara Serah Terima Kedua.
Kalau kita merujuk Perpres Nomor 54 Tahun 2010,
istilah Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan (BAPP) lebih dikenal sebagai Berita
Acara Penyerahan Pertama Pekerjaan atau PHO (Provisian Hand Over). Sedangkan
Berita Acara Serah Terima Kedua lebih dikenal sebagai Berita Acara Serah Terima
Akhir Pekerjaan atau FHO (Final Hand Over).
Dokumen PHO adalah dokumen yang ditandatangani oleh
PPK dan Kontraktor yang menyatakan bahwa pekerjaan telah selesai dikerjakan
(100%) sesuai kontrak berdasarkan penilaian Panitia/Pejabat Penerima Hasil
Pekerjaan atas hasil pekerjaan yang telah diselesaikan oleh Kontraktor. Intinya
adalah bahwa pekerjaan telah selesai (100%) dan dapat digunakan/dimanfaatkan
oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran. Sedangkan dokumen FHO adalah
dokumen serah terima akhir pekerjaan konstruksi setelah berakhirnya masa
pemeliharaan, di mana masa pemeliharaan
tersebut dapat melampaui tahun anggaran. Sesuai Perpres Nomor 54 Tahun
2010, masa pemeliharaan paling singkat untuk pekerjaan permanen adalah selama 6
bulan, sedangkan untuk pekerjaan semi permanen selama 3 bulan. FHO
ditandatangani oleh PPK, Kontraktor, dan Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna
Anggaran.
Nah, kalau kita berangkat dari pengertian
sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010, maka lebih tepat apabila
pengakuan penyelesaian KDP atau kapan suatu KPD dapat dialihkan ke pos Aset
Tetap Definitifnya adalah pada saat penyerahan pekerjaan yang pertama atau
berdasarkan dokumen PHO. Hal ini sesuai dengan pengakuan penyelesaian KDP
sesuai Paragraf 15 PSAP Nomor 8 bahwa KDP dipindahkan ke pos aset tetap yang
bersangkutan jika kriteria berikut ini terpenuhi: (a) konstruksi secara
substansi telah selesai dikerjakan; dan
(b) dapat memberikan manfaat/jasa
sesuai dengan tujuan perolehan.
Kesimpulannya, suatu KDP dipindahkan ke aset tetap yang bersangkutan
setelah pekerjaan konstruksi tersebut dinyatakan selesai dan siap digunakan
sesuai dengan tujuan perolehannya.
Sesuai Perpres Nomor 54 Tahun 2010, dokumen PHO
dijadikan dasar untuk melakukan pembayaran. Pembayaran kepada penyedia
barang/jasa dapat ditempuh dalam 2 cara, yaitu 1) pembayaran dilakukan sebesar
95% dari nilai kontrak, sedangkan sisanya yang 5% baru dapat dibayarkan setelah
14 hari sejak berakhirnya masa pemeliharaan sesuai kontrak (retensi selama masa
pemeliharaan); dan 2) pembayaran
dilakukan sebesar 100%
dari nilai kontrak, namun kontraktor harus menyerahkan Jaminan Pemeliharaan sebesar
5% dari
nilai kontrak.
Nah, jika dikaitkan dengan pengakuan penyelesaian
KDP sesuai Bultek Nomor 9 halaman 31-32, maka pilihan pembayaran cara 1 maupun cara 2 tidak akan membawa implikasi
apa-apa karena dokumen sumber pengakuan pengalihan KDP ke pos Aset Tetap
Definitifnya didasarkan pada PHO. Dalam hal pengukuran nilai perolehan KDP
sebelum pengalihannya ke Aset Tetap Definitifnya, dengan pilihan pembayaran
cara 1 nilai perolehan KDP merupakan jumlah dari termin yang telah dibayarkan
(95%) dan kewajiban yang belum dibayarkan kepada Kontraktor (5%). Sedangkan
dengan pilihan pembayaran cara 2 nilai perolehan KDP sebelum pengalihannya ke
Aset Tetap Definitifnya adalah sebesar
termin yang telah dibayarkan sesuai tingkat penyelesaian pekerjaan (100%).
Pengukuran nilai KDP dalam kedua cara pilihan pembayaran tersebut telah sesuai
dengan Paragraf 21 PSAP Nomor 8 maupun Bultek Nomor 9. Nilai perolehan KDP
dengan menggunakan dua pilihan cara pembayaran di atas adalah sama yaitu
sebesar nilai kontrak yang telah selesai dilaksanakan oleh kontraktor. Ketika
KDP dialihkan ke Aset Tetap Definitifnya, maka nilai Aset Tetap Definitifnya
adalah sebesar nilai kontrak pekerjaan yang telah selesai dilaksanakan oleh
kontraktor.
Sedangkan jika dikaitkan dengan pengakuan
penyelesaian KDP sesuai Bultek Nomor 9 halaman 36-38, maka pilihan pembayaran
cara 1 maupun cara 2 membawa implikasi
pada belum dapat dialihkannya KDP ke Aset Tetap Definitifnya. Sekalipun pada
pilihan pembayaran cara 2 pemerintah daerah telah melakukan pembayaran 100%,
namun aset tersebut belum juga dapat dialihkan ke pos aset tetap definitifnya
karena dokumen sumber pengakuannya didasarkan pada FHO. Artinya, sampai akhir
tahun anggaran, atas aset konstruksi tersebut masih dicatat sebagai KDP.
Selanjutnya, terkait nilai perolehan KDP yang akan disajikan dalam neraca,
pilihan pembayaran cara 1 tidak sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam
Paragraf 21 PSAP Nomor 8 maupun Bultek Nomor 9. Selain itu, dalam banyak
kasus–hal yang sering dikeluhkan oleh pemerintah daerah—pilihan pembayaran cara
1 mengakibatkan kontraktor ‘malas’
mengambil retensi 5%. Akibatnya aset tersebut akan selalu tercatat
sebagai KDP dalam neraca pemerintah daerah setiap tahunnya. Padahal secara
fisik aset tersebut sudah selesai dan malah sudah digunakan/dimanfaatkan oleh
SKPD/Satker. Di sisi lainnya, pengadministrasian retensi memerlukan biaya
pengelolaan yang cukup besar dan merepotkan pemerintah daerah. Setidaknya, SKPD
dan BUD harus selalu melakukan rekonsiliasi data terkait retensi dan KDP, tidak
boleh lupa untuk menganggarkan dalam APBD tahun berikutnya karena termasuk
belanja wajib, serta memantau penyelesaian pembayaran retensi dan pencatatan
pengalihan KDP ke Aset Tetap Definitifnya.
Jadi?
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya, maka sebaiknya pemerintah daerah membuat kebijakan mengenai
pembayaran terkait kontrak konstruksi dan kebijakan akuntansi terkait
pengalihan KDP ke pos Aset Tetap Definitifnya yang tidak merepotkan dan
menghabiskan ‘energi’ yaitu: 1) membuat kebijakan pembayaran terkait kontrak
konstruksi berupa pembayaran 100% kepada kontraktor berdasarkan dokumen PHO
yang disertai kewajiban kontraktor menyerahkan Jaminan Pemeliharaan, 2) membuat
kebijakan akuntansi yang menyatakan bahwa berdasarkan PHO, suatu KDP dapat
dialihkan pencatatannya ke pos Aset Tetap Definitifnya.
0 comments:
Post a Comment