Monday, August 25, 2014



Akhir-akhir ini banyak orang memperbincangkan dan mendiskusikan tentang pengakuan penyelesaian Konstruksi Dalam Pengerjaan (KDP). Apa sih yang menarik? Bukankah sudah ada Pernyataan SAP Nomor 8 tentang Akuntansi KDP? Bukankah dalam Bab VII Buletin Teknis (Bultek) SAP Nomor 9 tentang Akuntansi Aset Tetap juga telah dijelaskan hal yang sama?


Usut punya usut ternyata ada sedikit ‘masalah’ dalam Bab VII Bultek SAP Nomor 9 tersebut. Masalah itu terkait dengan kapan sebenarnya suatu KDP (khususnya yang diperoleh melalui kontrak konstruksi) diakui sebagai Aset Tetap. Rupanya penjelasan mengenai Penyelesaian KDP pada halaman 31-32 Bultek SAP Nomor 9 tersebut berbeda dengan uraian pada huruf E Contoh Kasus nomor 4 pada halaman 36-38, dimana di sana diketengahkan contoh kasus pembangunan gedung dengan kontrak konstruksi disertai jurnal transaksi kapan suatu KDP dipindahkan ke Aset Tetap Definitifnya.


Lebih jelasnya begini…..

Dengan merujuk paragraf 15 PSAP Nomor 8, Bultek SAP Nomor 9 di halaman 31 menyatakan bahwa suatu KDP akan dipindahkan ke pos aset tetap yang bersangkutan jika konstruksi secara substansi telah selesai dikerjakan dan konstruksi tersebut telah dapat memberikan manfaat/jasa sesuai tujuan perolehan.  Selanjutnya dinyatakan bahwa dokumen sumber untuk pengakuan penyelesaian suatu KDP adalah Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan (BAPP). Dengan demikian, apabila suatu KDP telah diterbitkan BAPP, berarti pembangunan tersebut sudah selesai. Lebih lanjut, pencatatan suatu transaksi perlu mengikuti sistem akuntansi yang ditetapkan dengan pohon putusan (decision tree) sebagai berikut: 1. atas dasar bukti transaksi yang obyektif (objective evidences); dan 2. dalam hal tidak dimungkinkan adanya bukti transaksi yang obyektif maka digunakan prinsip substansi mengungguli bentuk formal (substance over form). Dalam   kasus-kasus   spesifik   dapat   terjadi   variasi   dalam   penyelesaian KDP. Oleh karena itu buletin teknis tersebut memberikan pedoman sebagai berikut:

1. Apabila   aset   telah   selesai   dibangun,   BAPP  sudah  diperoleh,   dan   aset   tetap   tersebut   sudah   dimanfaatkan   oleh   SKPD/Satker,   maka aset tersebut dicatat sebagai Aset Tetap Definitifnya.

2. Apabila   aset   tetap   telah   selesai   dibangun,   BAPP sudah diperoleh, namun aset tetap tersebut belum dimanfaatkan oleh SKPD/Satker, maka aset tersebut dicatat sebagai Aset Tetap Definitifnya.

3. Apabila    aset   telah  selesai   dibangun yang    didukung    dengan     bukti  yang   sah (walaupun BAPP belum diperoleh) namun aset tetap tersebut sudah dimanfaatkan oleh SKPD/Satker, maka  aset tersebut masih dicatat sebagai KDP dan diungkapkan di dalam CaLK.

4.  Apabila sebagian dari aset tetap yang dibangun telah selesai, dan telah digunakan/dimanfaatkan, maka bagian yang digunakan/dimanfaatkan  masih  diakui sebagai KDP (Dalam kasus ini, BAPP tidak dapat diberlakukan untuk sebagian saja dari pekerjaan yang telah selesai dibangun).

5. Apabila Berita Acara Serah Terima sudah ada, namun  fisik pekerjaan belum selesai, akan diakui sebagai KDP.

Namun kalau Anda mencermati contoh jurnal transaksi yang mendasarkan pada contoh kasus transaksi pembangunan gedung dengan kontrak konstruksi pada halaman 36-38, maka akan ditemui di sana bahwa pengakuan penyelesaian suatu KDP– untuk itu harus dipindahkan ke pos aset tetap yang bersangkutan–adalah pada saat retensi 5% dibayarkan berdasarkan Berita Acara Serah Terima Kedua.

Sekarang menjadi jelas kan perbedaan yang terjadi? Aneh bukan? Bagaimana nggak aneh, dalam Bultek yang sama terdapat dua pengaturan, meskipun yang terakhir hanya contoh kasus. Konon katanya auditor lebih merujuk kepada contoh jurnal dalam kasus halaman 36-38 Bultek Nomor 9 tersebut. Sementara itu pemerintah daerah lebih banyak merujuk pada pengaturan sesuai SAP dan Bultek Nomor 9 halaman 31-32. Namun bagaimana akhirnya? Ya dapat ditebak, pemerintah daerah harus melakukan koreksi dalam laporan keuangannya seperti kemauan auditor.

Warkop Mania…..Sepertinya jadi menarik untuk dikaji lebih jauh ya?

Kita tidak akan membahas mengapa sampai ada dua pengaturan yang berbeda dalam Bultek Nomor 9. Apakah memang ada unsur kelalaian dalam pembuatan Bultek Nomor 9 tersebut?

Nah, perbedaan kedua pengaturan dalam Bultek Nomor 9 mengenai kapan pengakuan penyelesaian suatu KDP sebenarnya terletak pada dokumen sumber yang digunakan. Bultek Nomor 9 halaman 31-32 mendasarkan pengakuan penyelesaian KDP pada dokumen Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan (BAPP), sedangkan Bultek Nomor 9 halaman 36-38 mendasarkan pada dokumen Berita Acara Serah Terima Kedua.

Kalau kita merujuk Perpres Nomor 54 Tahun 2010, istilah Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan (BAPP) lebih dikenal sebagai Berita Acara Penyerahan Pertama Pekerjaan atau PHO (Provisian Hand Over). Sedangkan Berita Acara Serah Terima Kedua lebih dikenal sebagai Berita Acara Serah Terima Akhir Pekerjaan atau FHO (Final Hand Over).

Dokumen PHO adalah dokumen yang ditandatangani oleh PPK dan Kontraktor yang menyatakan bahwa pekerjaan telah selesai dikerjakan (100%) sesuai kontrak berdasarkan penilaian Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan atas hasil pekerjaan yang telah diselesaikan oleh Kontraktor. Intinya adalah bahwa pekerjaan telah selesai (100%) dan dapat digunakan/dimanfaatkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran. Sedangkan dokumen FHO adalah dokumen serah terima akhir pekerjaan konstruksi setelah berakhirnya masa pemeliharaan, di mana masa pemeliharaan  tersebut dapat melampaui tahun anggaran. Sesuai Perpres Nomor 54 Tahun 2010, masa pemeliharaan paling singkat untuk pekerjaan permanen adalah selama 6 bulan, sedangkan untuk pekerjaan semi permanen selama 3 bulan. FHO ditandatangani oleh PPK, Kontraktor, dan Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.

Nah, kalau kita berangkat dari pengertian sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010, maka lebih tepat apabila pengakuan penyelesaian KDP atau kapan suatu KPD dapat dialihkan ke pos Aset Tetap Definitifnya adalah pada saat penyerahan pekerjaan yang pertama atau berdasarkan dokumen PHO. Hal ini sesuai dengan pengakuan penyelesaian KDP sesuai Paragraf 15 PSAP Nomor 8 bahwa KDP dipindahkan ke pos aset tetap yang bersangkutan jika kriteria berikut ini terpenuhi: (a) konstruksi secara substansi telah selesai dikerjakan;  dan (b)    dapat memberikan manfaat/jasa sesuai dengan tujuan perolehan.  Kesimpulannya, suatu KDP dipindahkan ke aset tetap yang bersangkutan setelah pekerjaan konstruksi tersebut dinyatakan selesai dan siap digunakan sesuai dengan tujuan perolehannya.

Sesuai Perpres Nomor 54 Tahun 2010, dokumen PHO dijadikan dasar untuk melakukan pembayaran. Pembayaran kepada penyedia barang/jasa dapat ditempuh dalam 2 cara, yaitu 1) pembayaran dilakukan sebesar 95% dari nilai kontrak, sedangkan sisanya yang 5% baru dapat dibayarkan setelah 14 hari sejak berakhirnya masa pemeliharaan sesuai kontrak (retensi selama masa pemeliharaan); dan 2) pembayaran  dilakukan  sebesar  100%  dari   nilai   kontrak, namun  kontraktor harus  menyerahkan Jaminan Pemeliharaan sebesar 5%  dari  nilai kontrak.

Nah, jika dikaitkan dengan pengakuan penyelesaian KDP sesuai Bultek Nomor 9 halaman 31-32, maka pilihan pembayaran cara 1  maupun cara 2 tidak akan membawa implikasi apa-apa karena dokumen sumber pengakuan pengalihan KDP ke pos Aset Tetap Definitifnya didasarkan pada PHO. Dalam hal pengukuran nilai perolehan KDP sebelum pengalihannya ke Aset Tetap Definitifnya, dengan pilihan pembayaran cara 1 nilai perolehan KDP merupakan jumlah dari termin yang telah dibayarkan (95%) dan kewajiban yang belum dibayarkan kepada Kontraktor (5%). Sedangkan dengan pilihan pembayaran cara 2 nilai perolehan KDP sebelum pengalihannya ke Aset Tetap Definitifnya  adalah sebesar termin yang telah dibayarkan sesuai tingkat penyelesaian pekerjaan (100%). Pengukuran nilai KDP dalam kedua cara pilihan pembayaran tersebut telah sesuai dengan Paragraf 21 PSAP Nomor 8 maupun Bultek Nomor 9. Nilai perolehan KDP dengan menggunakan dua pilihan cara pembayaran di atas adalah sama yaitu sebesar nilai kontrak yang telah selesai dilaksanakan oleh kontraktor. Ketika KDP dialihkan ke Aset Tetap Definitifnya, maka nilai Aset Tetap Definitifnya adalah sebesar nilai kontrak pekerjaan yang telah selesai dilaksanakan oleh kontraktor.

Sedangkan jika dikaitkan dengan pengakuan penyelesaian KDP sesuai Bultek Nomor 9 halaman 36-38, maka pilihan pembayaran cara 1  maupun cara 2 membawa implikasi pada belum dapat dialihkannya KDP ke Aset Tetap Definitifnya. Sekalipun pada pilihan pembayaran cara 2 pemerintah daerah telah melakukan pembayaran 100%, namun aset tersebut belum juga dapat dialihkan ke pos aset tetap definitifnya karena dokumen sumber pengakuannya didasarkan pada FHO. Artinya, sampai akhir tahun anggaran, atas aset konstruksi tersebut masih dicatat sebagai KDP. Selanjutnya, terkait nilai perolehan KDP yang akan disajikan dalam neraca, pilihan pembayaran cara 1 tidak sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Paragraf 21 PSAP Nomor 8 maupun Bultek Nomor 9. Selain itu, dalam banyak kasus–hal yang sering dikeluhkan oleh pemerintah daerah—pilihan pembayaran cara 1 mengakibatkan kontraktor ‘malas’  mengambil retensi 5%. Akibatnya aset tersebut akan selalu tercatat sebagai KDP dalam neraca pemerintah daerah setiap tahunnya. Padahal secara fisik aset tersebut sudah selesai dan malah sudah digunakan/dimanfaatkan oleh SKPD/Satker. Di sisi lainnya, pengadministrasian retensi memerlukan biaya pengelolaan yang cukup besar dan merepotkan pemerintah daerah. Setidaknya, SKPD dan BUD harus selalu melakukan rekonsiliasi data terkait retensi dan KDP, tidak boleh lupa untuk menganggarkan dalam APBD tahun berikutnya karena termasuk belanja wajib, serta memantau penyelesaian pembayaran retensi dan pencatatan pengalihan KDP ke Aset Tetap Definitifnya.

Jadi?



Berdasarkan pertimbangan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka sebaiknya pemerintah daerah membuat kebijakan mengenai pembayaran terkait kontrak konstruksi dan kebijakan akuntansi terkait pengalihan KDP ke pos Aset Tetap Definitifnya yang tidak merepotkan dan menghabiskan ‘energi’ yaitu: 1) membuat kebijakan pembayaran terkait kontrak konstruksi berupa pembayaran 100% kepada kontraktor berdasarkan dokumen PHO yang disertai kewajiban kontraktor menyerahkan Jaminan Pemeliharaan, 2) membuat kebijakan akuntansi yang menyatakan bahwa berdasarkan PHO, suatu KDP dapat dialihkan pencatatannya ke pos Aset Tetap Definitifnya.

0 comments:

Post a Comment

Terkini

Blog Archive

Total Pageviews

Followers

Featured Posts

Social Icons

Social Icons

Search This Blog

About Me

Sample text

Sample text

Sample Text

Pages

Powered by Blogger.

Ads 468x60px

Followers

Popular Posts

Monday, August 25, 2014

Kapan Konstruksi Dalam Pengerjaan diakui sebagai Aset Tetap Definitif?




Akhir-akhir ini banyak orang memperbincangkan dan mendiskusikan tentang pengakuan penyelesaian Konstruksi Dalam Pengerjaan (KDP). Apa sih yang menarik? Bukankah sudah ada Pernyataan SAP Nomor 8 tentang Akuntansi KDP? Bukankah dalam Bab VII Buletin Teknis (Bultek) SAP Nomor 9 tentang Akuntansi Aset Tetap juga telah dijelaskan hal yang sama?


Usut punya usut ternyata ada sedikit ‘masalah’ dalam Bab VII Bultek SAP Nomor 9 tersebut. Masalah itu terkait dengan kapan sebenarnya suatu KDP (khususnya yang diperoleh melalui kontrak konstruksi) diakui sebagai Aset Tetap. Rupanya penjelasan mengenai Penyelesaian KDP pada halaman 31-32 Bultek SAP Nomor 9 tersebut berbeda dengan uraian pada huruf E Contoh Kasus nomor 4 pada halaman 36-38, dimana di sana diketengahkan contoh kasus pembangunan gedung dengan kontrak konstruksi disertai jurnal transaksi kapan suatu KDP dipindahkan ke Aset Tetap Definitifnya.


Lebih jelasnya begini…..

Dengan merujuk paragraf 15 PSAP Nomor 8, Bultek SAP Nomor 9 di halaman 31 menyatakan bahwa suatu KDP akan dipindahkan ke pos aset tetap yang bersangkutan jika konstruksi secara substansi telah selesai dikerjakan dan konstruksi tersebut telah dapat memberikan manfaat/jasa sesuai tujuan perolehan.  Selanjutnya dinyatakan bahwa dokumen sumber untuk pengakuan penyelesaian suatu KDP adalah Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan (BAPP). Dengan demikian, apabila suatu KDP telah diterbitkan BAPP, berarti pembangunan tersebut sudah selesai. Lebih lanjut, pencatatan suatu transaksi perlu mengikuti sistem akuntansi yang ditetapkan dengan pohon putusan (decision tree) sebagai berikut: 1. atas dasar bukti transaksi yang obyektif (objective evidences); dan 2. dalam hal tidak dimungkinkan adanya bukti transaksi yang obyektif maka digunakan prinsip substansi mengungguli bentuk formal (substance over form). Dalam   kasus-kasus   spesifik   dapat   terjadi   variasi   dalam   penyelesaian KDP. Oleh karena itu buletin teknis tersebut memberikan pedoman sebagai berikut:

1. Apabila   aset   telah   selesai   dibangun,   BAPP  sudah  diperoleh,   dan   aset   tetap   tersebut   sudah   dimanfaatkan   oleh   SKPD/Satker,   maka aset tersebut dicatat sebagai Aset Tetap Definitifnya.

2. Apabila   aset   tetap   telah   selesai   dibangun,   BAPP sudah diperoleh, namun aset tetap tersebut belum dimanfaatkan oleh SKPD/Satker, maka aset tersebut dicatat sebagai Aset Tetap Definitifnya.

3. Apabila    aset   telah  selesai   dibangun yang    didukung    dengan     bukti  yang   sah (walaupun BAPP belum diperoleh) namun aset tetap tersebut sudah dimanfaatkan oleh SKPD/Satker, maka  aset tersebut masih dicatat sebagai KDP dan diungkapkan di dalam CaLK.

4.  Apabila sebagian dari aset tetap yang dibangun telah selesai, dan telah digunakan/dimanfaatkan, maka bagian yang digunakan/dimanfaatkan  masih  diakui sebagai KDP (Dalam kasus ini, BAPP tidak dapat diberlakukan untuk sebagian saja dari pekerjaan yang telah selesai dibangun).

5. Apabila Berita Acara Serah Terima sudah ada, namun  fisik pekerjaan belum selesai, akan diakui sebagai KDP.

Namun kalau Anda mencermati contoh jurnal transaksi yang mendasarkan pada contoh kasus transaksi pembangunan gedung dengan kontrak konstruksi pada halaman 36-38, maka akan ditemui di sana bahwa pengakuan penyelesaian suatu KDP– untuk itu harus dipindahkan ke pos aset tetap yang bersangkutan–adalah pada saat retensi 5% dibayarkan berdasarkan Berita Acara Serah Terima Kedua.

Sekarang menjadi jelas kan perbedaan yang terjadi? Aneh bukan? Bagaimana nggak aneh, dalam Bultek yang sama terdapat dua pengaturan, meskipun yang terakhir hanya contoh kasus. Konon katanya auditor lebih merujuk kepada contoh jurnal dalam kasus halaman 36-38 Bultek Nomor 9 tersebut. Sementara itu pemerintah daerah lebih banyak merujuk pada pengaturan sesuai SAP dan Bultek Nomor 9 halaman 31-32. Namun bagaimana akhirnya? Ya dapat ditebak, pemerintah daerah harus melakukan koreksi dalam laporan keuangannya seperti kemauan auditor.

Warkop Mania…..Sepertinya jadi menarik untuk dikaji lebih jauh ya?

Kita tidak akan membahas mengapa sampai ada dua pengaturan yang berbeda dalam Bultek Nomor 9. Apakah memang ada unsur kelalaian dalam pembuatan Bultek Nomor 9 tersebut?

Nah, perbedaan kedua pengaturan dalam Bultek Nomor 9 mengenai kapan pengakuan penyelesaian suatu KDP sebenarnya terletak pada dokumen sumber yang digunakan. Bultek Nomor 9 halaman 31-32 mendasarkan pengakuan penyelesaian KDP pada dokumen Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan (BAPP), sedangkan Bultek Nomor 9 halaman 36-38 mendasarkan pada dokumen Berita Acara Serah Terima Kedua.

Kalau kita merujuk Perpres Nomor 54 Tahun 2010, istilah Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan (BAPP) lebih dikenal sebagai Berita Acara Penyerahan Pertama Pekerjaan atau PHO (Provisian Hand Over). Sedangkan Berita Acara Serah Terima Kedua lebih dikenal sebagai Berita Acara Serah Terima Akhir Pekerjaan atau FHO (Final Hand Over).

Dokumen PHO adalah dokumen yang ditandatangani oleh PPK dan Kontraktor yang menyatakan bahwa pekerjaan telah selesai dikerjakan (100%) sesuai kontrak berdasarkan penilaian Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan atas hasil pekerjaan yang telah diselesaikan oleh Kontraktor. Intinya adalah bahwa pekerjaan telah selesai (100%) dan dapat digunakan/dimanfaatkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran. Sedangkan dokumen FHO adalah dokumen serah terima akhir pekerjaan konstruksi setelah berakhirnya masa pemeliharaan, di mana masa pemeliharaan  tersebut dapat melampaui tahun anggaran. Sesuai Perpres Nomor 54 Tahun 2010, masa pemeliharaan paling singkat untuk pekerjaan permanen adalah selama 6 bulan, sedangkan untuk pekerjaan semi permanen selama 3 bulan. FHO ditandatangani oleh PPK, Kontraktor, dan Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.

Nah, kalau kita berangkat dari pengertian sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 54 Tahun 2010, maka lebih tepat apabila pengakuan penyelesaian KDP atau kapan suatu KPD dapat dialihkan ke pos Aset Tetap Definitifnya adalah pada saat penyerahan pekerjaan yang pertama atau berdasarkan dokumen PHO. Hal ini sesuai dengan pengakuan penyelesaian KDP sesuai Paragraf 15 PSAP Nomor 8 bahwa KDP dipindahkan ke pos aset tetap yang bersangkutan jika kriteria berikut ini terpenuhi: (a) konstruksi secara substansi telah selesai dikerjakan;  dan (b)    dapat memberikan manfaat/jasa sesuai dengan tujuan perolehan.  Kesimpulannya, suatu KDP dipindahkan ke aset tetap yang bersangkutan setelah pekerjaan konstruksi tersebut dinyatakan selesai dan siap digunakan sesuai dengan tujuan perolehannya.

Sesuai Perpres Nomor 54 Tahun 2010, dokumen PHO dijadikan dasar untuk melakukan pembayaran. Pembayaran kepada penyedia barang/jasa dapat ditempuh dalam 2 cara, yaitu 1) pembayaran dilakukan sebesar 95% dari nilai kontrak, sedangkan sisanya yang 5% baru dapat dibayarkan setelah 14 hari sejak berakhirnya masa pemeliharaan sesuai kontrak (retensi selama masa pemeliharaan); dan 2) pembayaran  dilakukan  sebesar  100%  dari   nilai   kontrak, namun  kontraktor harus  menyerahkan Jaminan Pemeliharaan sebesar 5%  dari  nilai kontrak.

Nah, jika dikaitkan dengan pengakuan penyelesaian KDP sesuai Bultek Nomor 9 halaman 31-32, maka pilihan pembayaran cara 1  maupun cara 2 tidak akan membawa implikasi apa-apa karena dokumen sumber pengakuan pengalihan KDP ke pos Aset Tetap Definitifnya didasarkan pada PHO. Dalam hal pengukuran nilai perolehan KDP sebelum pengalihannya ke Aset Tetap Definitifnya, dengan pilihan pembayaran cara 1 nilai perolehan KDP merupakan jumlah dari termin yang telah dibayarkan (95%) dan kewajiban yang belum dibayarkan kepada Kontraktor (5%). Sedangkan dengan pilihan pembayaran cara 2 nilai perolehan KDP sebelum pengalihannya ke Aset Tetap Definitifnya  adalah sebesar termin yang telah dibayarkan sesuai tingkat penyelesaian pekerjaan (100%). Pengukuran nilai KDP dalam kedua cara pilihan pembayaran tersebut telah sesuai dengan Paragraf 21 PSAP Nomor 8 maupun Bultek Nomor 9. Nilai perolehan KDP dengan menggunakan dua pilihan cara pembayaran di atas adalah sama yaitu sebesar nilai kontrak yang telah selesai dilaksanakan oleh kontraktor. Ketika KDP dialihkan ke Aset Tetap Definitifnya, maka nilai Aset Tetap Definitifnya adalah sebesar nilai kontrak pekerjaan yang telah selesai dilaksanakan oleh kontraktor.

Sedangkan jika dikaitkan dengan pengakuan penyelesaian KDP sesuai Bultek Nomor 9 halaman 36-38, maka pilihan pembayaran cara 1  maupun cara 2 membawa implikasi pada belum dapat dialihkannya KDP ke Aset Tetap Definitifnya. Sekalipun pada pilihan pembayaran cara 2 pemerintah daerah telah melakukan pembayaran 100%, namun aset tersebut belum juga dapat dialihkan ke pos aset tetap definitifnya karena dokumen sumber pengakuannya didasarkan pada FHO. Artinya, sampai akhir tahun anggaran, atas aset konstruksi tersebut masih dicatat sebagai KDP. Selanjutnya, terkait nilai perolehan KDP yang akan disajikan dalam neraca, pilihan pembayaran cara 1 tidak sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam Paragraf 21 PSAP Nomor 8 maupun Bultek Nomor 9. Selain itu, dalam banyak kasus–hal yang sering dikeluhkan oleh pemerintah daerah—pilihan pembayaran cara 1 mengakibatkan kontraktor ‘malas’  mengambil retensi 5%. Akibatnya aset tersebut akan selalu tercatat sebagai KDP dalam neraca pemerintah daerah setiap tahunnya. Padahal secara fisik aset tersebut sudah selesai dan malah sudah digunakan/dimanfaatkan oleh SKPD/Satker. Di sisi lainnya, pengadministrasian retensi memerlukan biaya pengelolaan yang cukup besar dan merepotkan pemerintah daerah. Setidaknya, SKPD dan BUD harus selalu melakukan rekonsiliasi data terkait retensi dan KDP, tidak boleh lupa untuk menganggarkan dalam APBD tahun berikutnya karena termasuk belanja wajib, serta memantau penyelesaian pembayaran retensi dan pencatatan pengalihan KDP ke Aset Tetap Definitifnya.

Jadi?



Berdasarkan pertimbangan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka sebaiknya pemerintah daerah membuat kebijakan mengenai pembayaran terkait kontrak konstruksi dan kebijakan akuntansi terkait pengalihan KDP ke pos Aset Tetap Definitifnya yang tidak merepotkan dan menghabiskan ‘energi’ yaitu: 1) membuat kebijakan pembayaran terkait kontrak konstruksi berupa pembayaran 100% kepada kontraktor berdasarkan dokumen PHO yang disertai kewajiban kontraktor menyerahkan Jaminan Pemeliharaan, 2) membuat kebijakan akuntansi yang menyatakan bahwa berdasarkan PHO, suatu KDP dapat dialihkan pencatatannya ke pos Aset Tetap Definitifnya.

0 comments:

Post a Comment

Text Widget